BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Tradisi pemikiran
Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi pengembangan budaya
Barat dengan implikasi yang sangat luas dan men dalam di semua segi dari seluruh lini kehidupan. Memahami tradisi
pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam pandangan filsafatnya merupakan
kearifan tersendiri, karena kita akan dapat melacak segi-segi positifnya yang
layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari sudut
sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini didasarkan
atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah zaman Yunani
Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah ditujukannya
perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai ikhtiar guna
menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal terjadinya gejala-gejala.
Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad
raya, sehingga ciri pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris.
Kedua, adalah zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di
sebut teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk
memperkuat dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran
Eropa pada abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan
dengan ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan
dipandang seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya.
Ketiga, adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia
sebagai pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut
antroposentris. Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang
berbeda dengan filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada
otoritas kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan
otoritas kekuasaan mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada
zaman Modern otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu
sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun,
kecuali oleh kekuasaan yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang
mengikat itu adalah agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan
politiknya yang bersifat absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri
pokok pemikiran logosentris, artinya teks menjadi tema sentral diskursus
filsafat.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa
itu filsafat modern idealisme ?
2.
Apa
itu filsafat modern kritisme ?
3.
Apa
itu filsafat modern neo kantialisme ?
C.
Tujuan Permasalahan
1.
Mengetahui
tentang filsafat modern idealisme !
2.
Mengetahui
tentang filsafat modern kritiesme !
3.
Mengetahui
tentang filsafat modern neo kantaliesme !
BAB II
PEMBAHASAN
A.
IDEALISME
Idealisme adalah salah satu aliran filsafat yang menganggap bahwa
realitas ini terdiri roh atau jiwa,ide-ide,pikiran atau sejenis nya dengan
itu.idealisme juga berpandangan bahwa kenyataan akhir yang sungguh nyata adalah pikiran (idea) dan bukanlah benda
di luar pikiran kita (materi),Benda yang diluar pikiran itu seperti alam,
masyarakat, alat-alat dan lain lain.Alasan yang terpenting dari aliran ini
ialah manusia menganggap roh atau sukma itu lebih berharga, lebih tinggi
nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Roh itu dianggap sebagai hakikat
yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah badannya, bayangan atau penjelmaannya
saja.Kalau dibandingkan dengan aliran materialisme ternyatalah bahwa kalau
aliran materialisme berusaha menerangkan hakikat dunia dengan melihat badannya,
maka aliran idealisme berusaha menerangkan hakikat yang menggerakkan manusia
ini selama hidupnya dan bagaimana gerakan itu sesudah manusia mati. Bagi
penganut idealisme materi itu sebenarnya tidak ada.
Idealisme
melihat segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia sebagai roh. Roh itu
bukan saja menguasai manusia perseorangan, tetapi roh juga yang menguasai
kebudayaan. Kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita-cita dan cita-cita itu
adalah rohani. Karena itulah aliran ini dapat disebut idealisme. Idealisme
dapat mencakup pengertian akal, kesadaran dan cita-cita di samping pengertian
jiwa atau sukma
Pelopor Idealisme J.G. Fichte
(1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F Hegel (1770-1831), Schopenhauer
(1788-1860).Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman yang mengatakan bahwa ,filsafat
ialah pemilihan antara moral idealisme dan moral materismea.subtansi
materialisme menurut Fichte adalah naluri, kenikmatan yang tak bertanggung
jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme ialah kehidupan yang
bergantung pada diri sendiri. Bagi seorang idealis ,hukum moral ialah setiap
tindakan harus merupakan langkah yang menuju kesempurnaan spiritual. Itu hanya dapat
dicapai pada masyarakat yang anggota–anggotanya yang bebas merealisasi diri
mereka dalam kerja untuk masyarakat.Pada tingkat yang lebih tinggi, keimanan
dan harapan manusia muncul pada kasih tuhan. Friedrich Wilhelm Joshep Schelling Dalam pandangan
nya, realitas adalah identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara
dialektis, akan tetapi berbeda dari berbagai hal dari Hegel.Pusat filsafat
Hegel ialah konsep Geist (roh ; spirit) suatu istilah yang diilhami oleh
agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah
sesuatu yang real, kongkret, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai
bentuk sebagai “World of Spirit (Dunia roh) yang menempat ke dalam objek-objek
khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esinsi manusia dan jua
esinsi sejarah manusia.
B.
KRITISME
Aliran ini muncul abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli
pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan
empirisme. Zaman baru ini disebut zaman Pencerahan (Aufklarung). Zaman
pencerahan ini muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam
pemikiran filsafatnya). Akan tetapi, setelah Kant mengadakan penyelidikan
(kritik) terhadap peran pengetahuan akal. Setelah itu, manusia terasa bebas
dari otoritas yang datangnya dari luar manusia, demi kemajuan atau peradaban
manusia.
Gerakan ini dimulai di Inggris, kemudian ke Prancis,
dan selanjutnya menyebar ke seluruh Eropa, termasuk ke Jerman. Di Jerman
pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme semakin berlanjut. Masing-masing
berebut otonomi. Kemudian timbul masalah, siapa yang sebenarnya dikatakan
sebagai sumber pengetahuan? Apakah
pengetahuan yang benar itu lewat rasio atau empiri?
Seorang ahli pikir Jerman Immanuel Kant
(1724-1804) mencoba menyelesaikan persoalan diatas. Pada awalnya, Kant
mengikuti rasionalisme, tetapi kemudian terpengaruh oleh empirisme.Walaupun
demikian, Kant tidak begitu mudah menerimanya karena ia mengetahui bahwa
empirisme terkandung skeptisisme. Untuk itu, ia tetap mengakui kebenaran ilmu,
dan dengan akal manusia akan dapat mencapai kebenaran.
Kant berusaha menawarkan perspektif baru dan
berusaha mengadakan penyelesaian terhadap pertikaian itu dia menulis 3 bukunya
berjudul : Kritik der Reinen Vernunft (Kritik atas Rasio Murni), Kritik der
Praktischen Vernunft (Kritik atas Rasio Praktis), dan Kritik der Urteilskraft
(Kritik atas Daya Pertimbangan).
“Kritik der reinen Vernunft” (Kritik atas
Rasio Murni) tahun 1781 Dalam kritik ini, antara lain Kant menjelaskan bahwa
ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak dan memberi pengertian baru.
Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan. Pertama,
putusan analitis apriori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru
pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati
ruang). Kedua, putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan “meja itu
bagus”, di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman
indrawi. Ketiga, putusan sintesis apriori: di sini dipakai sebagai suatu sumber
pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat apriori juga.
Misalnya, putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan
ini berlaku umum dan mutlak (jadi apriori), namun putusan ini juga bersifat
sintetis dan aposteriori, Sebab di dalam pengertian “kejadian” belum dengan
sendirinya tersirat pengertian “sebab”. Maka di sini baik akal ataupun pengalaman
indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam
disusun atas putusan sintetis yang bersifat a priori ini. Menurut Kant, putusan
jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah)
dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.
“Kritik der Praktischen Vernunft ”
(Kritik atas Rasio Praktis) tahun 1788. Dalam kritik atas rasio praktis, Kant
berusaha menemukan bagaimana pengetahuan moral itu terjadi. Pengetahuan moral, misalnya
dalam putusan “orang harus jujur”, tidak menyangkut kenyataan yang ada (das
Sein), melainkan kenyataan yang seharusnya ada (das Sollen). Pengetahuan macam
ini bersifat apriori sebab tidak menyangkut tindakan empiris, melainkan asas –
asas tindakan. Kritik atas rasio praktis ini melahirkan etika.
“Kritik der Urteilskraft” (Kritik atas Daya
Pertimbangan) tahun 1790 Kritik atas Daya Pertimbangan terdiri dari sebuah
pendahuluan. Bagi Kant, dalam pengenalan indrawi selalu sudah ada dua bentuk
apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subjek
sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subjek yang mengindra, tetapi
realitas tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang
merupakan sintesis antara yang di luar (aposteriori) dan ruang waktu (a
priori).
Akhirnya, Kant mengakui peranan akal dan
keharusan empiri, kemudian dicobanya menggunakan sintesis. Walaupun semua
pengetahuan bersumber pada akal (rasionalisme), tetapi adanya pengertian timbul
dari benda (empirisme). Ibarat burung terbang harus mempunyai sayap (rasio) dan
udara (empirii).
Jadi, metode berpikirnya disebut metode kritis.
Walaupun ia mendasarkan diri pada nilai yang tinggi dari akal, tetapi ia tidak
mengingkari adanya persoalan-persoalan yang melampaui akal. Sehingga akal
mengenal batas-batasnya.
Ciri-ciri
kritisisme diantarnya adalah sebagai berikut:
• Menganggap bahwa
objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
• Menegaskan
keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenya saja.
C.
NEO-
KANTIALISME
Setelah materialisme pengaruhnya merajalela, para murid Kant
mengadakan gerakan lagi. Banyak filosof Jerman yang tidak puas terhadap
Materialisme, Positivisme, dan Idealisme. Gerakan ini disebut Neo-Kantialisme.
Tokohnya antara lain Wilhelm Windelband (1848-1915), Herman Cohen (1842-1918),
Paul Natrop (1854-1924), Heinrich Reickhart (1863-1939).
Herman Cohen memberikan titik tolak pemikirannya mengemukakan bahwa
keyakinannya pada otoritas akal manusia untuk mencipta. Mengapa demikian,
karena segala sesuatu itu baru dikatakan ‘ada’ apabila terlebih dahulu
dipikirkan. Artinya, ‘ada’ dan ‘dipikirkan’ adalah sama sehingga apa yang
dipikirkan akan melahirkan pikiran. Tuhan, menurut pendapatnya, bukan sebagai person,
tetapi sebagai cita-cita dari seluruh perilaku manusia.
Sedangkan
menurut Wilhelm Windelband pemikiran Neo-kantianisme yaitu ilmu pengetahuan,
ilmu pengetahuan dibagi 2 macam yaitu ilmu pengetahuan alam yaitu ilmu
pengetahuan yang obyeknya adalah fenomena-fenomena yang dapat diulangi terus
menerus dan hanya merupakan suatu kasus yang menyangkut suatu hukum alam,
sedangkan ilmu pengetahuan budaya yang mempunyai ciri bersifat individu,etnik
dan satu kali terjadi (einmaligh).
Pemikiran Neo-kantianisme menurut Paul Natorp yaitu Mengetahui
adalah berpikir. Berpikir itu menetapkan, mendeterminasikan, demikian juga
pengamatan berdasarkan penetapan pikiran dan Tidak ada pengamatan di luar aspek
kuantitas, kualitas dan relasi. Objek tidak di luar, melainkan dialam pikiran.
Neo-kantianisme menurut Heinrich Reickhart Pertama orang harus
mempertimbangkan, barulah orang tahu apa yang disebut kenyataan dan bukan
sebaliknya.
Istilah Neo-kantianisme dipandang searti dengan kritikisme yang
bergerak dalam dua aliran, yaitu realisme dan
prakmatisme, Pemikirannya lahir untuk mencari peranan yang dimainkan
oleh akal budi manusia dalam proses mengetahui, dan nilai yang dapat dilekatkan
kepada usaha mengetahui, dan mencari hubungan antara usaha mengetahui ini
dengan dunia-luar. Pokok pembahasan neo-kantianisme membahasa teori pengetahuan
yang harus dapat menerangkan bentuk-bentuk pengetahuan yang berbeda-beda,
seperti: pengetahuan sehari-hari, pengetahua dalam ilmu pengetahuan positif dan
filsafat, pengetahuan dalam moral serta pengetahuan estetik dalam agama serta
teologi.
Ilmu-ilmu mempelajari bermacam-macam objek. Tapi ilmu itu sendiri
menjadi objek bagi renungan filsafat. Kaum Neo-kantian menyatakan mereka bukan
realis dan mereka menolak metafisika yang lama. Mereka menganggap diri mereka
sebagai orang-orang yang melanjutkan kant,sebagai ahli-warisnya dan dalam
beberapa hal juga menjadi pengoreksi kant.
Lapangan yang dimasuki ilmu adalah lapangan yang terbatas yaitu
berupa keseluruhan dari peristiwa-peristiwa. Dengan mempergunakan pengertian-pengertian
akal tidak mudah membuat orang membuat gambaran dan memperoleh pengetahuan dari
dunia yang sebenarnya. Dalam pusat perhatian kaum Neo-kantian muncul pertanyaan
akan kebenaran,yaitu kebenaran menurut ilmu. Dalam pertanyaan kaum Neo-kantian
mempunyai pertimbangan. Pertimbangan bukanlah sesuatu yang ada diluar diri yang
mempertimbangkan, melainkan adalah kegiatan (aktivitet) dari diri yang
mempertimbangakan itu. Bukan kenyataan dalam arti seperti ini yang menentukan
pertimbangan, melainkan pertimbangan itu yang menentukan kenyataan.
Pertimbangan
atau lebih tepat mempertimbangkan itu adalah aktivitet, kegiatan dari fikiran.
Binatang, tumbuh-tumbuhan dan batu tidak mempertimbangkan,tetapimanusia
mempertimbangkan tentang semua itu. Jika sebuah pertimbangan itu ditaruh dalam
pusat penyelidikan filsafat. Artinya dengan menaruh hal berfikir
ditengah-tengah. Berfikir ialah berfikir yang menurut logika, berfikir yang
menurut ilmu, berfikir menurut metode.
Dapat pula
disebut bahwa aliran filsafat Neo-kanntianisme itu bersifat subyektif, seperti
kata Heinemann. Subyektivisme adalah pengertian yang umum dan samar-samar, yang
dapat diartikan berlain-lain.seperti yang dikatakan oleh bochenski kaum Neo-kantian tidak pernah mengatakan,bahwa
dunia itu adalah terletak dalam kepala orang yang memikirkannya dan mereka
tidak pernah memikirkan dan berkata bahwa dunia itu dari pendirian satu-satu
individu.
Subyektif yang
menjadi pokok pangkal pikiran bagi kaum Neo-kantian bukanlah subyektif
individu,melayinkan subyektif umum,seperti yang dimaksud oleh kant. Subyektif
bukanlah suatu tong atau arus dari bermacam isi seperti kesan, penginderaan,
tanggapan dan ide yang senantiasa silih-berganti dan berdesakan, melainkan
keseluruhan, suatu rangkaian prinsip-prinsip formil, suatu rangkaian asas-asas
bentuk apriori. Orang yang menanyakan dasar dari kebenaran dan dari obyektif
dan kepastian keilmuan, maka orang itu tidak akan terbentur pada isi, melainkan
pada bentuk dan bentuk-bentuk dapat ditinjau lepas dari pertanyaan isi apa yang
terkandung didalamnya.
Kaum
Neo-kantian adalah kaum idealis transendental. Mereka tidak menggunakan metode
penyelidikan secara empiris yang bersandar kepada peristiwa-peristiwa
pengalaman,melainkan metode transendental. Metode transendental harus menjelaskan
ketentuan-ketentuan yang menjadu suatu syarat muutlak untuk terjadinya
pengalaman empiris itu sendiri. Ketentuan-ketentuan itu sendiri tidak bisa
didapat dari pengalaman, oleh karena itu, tidak munkin ketentuan-ketentuan itu
bisa menimbulkan pengalaman.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Filsafat zaman modern adalah pengetahuan yang tidak berasal dari
kitab suci atau ajaran agama,Tidak juaga dari penguasa tetapi dari manusia
sendiri.
Pada fisafat
modern yang beraliaran Idealisme adalah salah satu aliran filsafat yang
berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Aliran Kristisme
muncul abad ke-18. Suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas
mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme. Zaman
baru ini disebut zaman Pencerahan (Aufklarung). Zaman pencerahan ini
muncul dimana manusia lahir dalam keadaan belum dewasa (dalam pemikiran
filsafatnya). Aliran neo-Kantialisme.tokohnya antara lain Herman Cohen yang memberikan titik tolak pemikirannya
mengemukakan bahwa keyakinannya pada otoritas akal manusia untuk mencipta Mengapa
demikian, karena segala sesuatu itu baru dikatakan ‘ada’ apabila terlebih
dahulu dipikirkan. Artinya, ‘ada’ dan ‘dipikirkan’ adalah sama sehingga apa
yang dipikirkan akan melahirkan pikiran.
B.
Saran
Dari makalah yang telah kami susun ini,semoga bermanfaat bagi kita
semua, baik dari kalangan mahasiswa ataupun umat muslim di Negara kita ini.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi
Asmoro, Filsafat Umum, Rajawali Pers, Jakarta:2013.A. Wiramihardja
Sutardjo, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung:2006.Abdul Hakim, Atang., dan Beni Ahmad Saebani. (2008).
Filsafat Umum ”dari Metologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka
Setia.Sudarsono, Drs. (1993). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
No comments:
Post a Comment